Kesejahteraan berpihak kepada orang yang lebih sibuk bekerja bagi kebaikan nasibnya, daripada orang yang hanya memusingkan nasib sambil menghindari pekerjaan.
Orang yang tidak memusingkan nasib justru sering bernasib baik

Kamis, 16 Februari 2012

"Pintar" VS "Bodoh" Ala Bob Sadino

Setiap orang punya perjalanan hidup yang berbeda-beda dan menerjemahkan perjalanan hidupnya pun tak akan sama kedalam petuah-petuah kata yang bermakna. Demikian pula dengan sosok Bob Sadino yang ber-azzam untuk tidak membawa ilmu yang dimilikinya keliang kubur sebelum di ajarkan kepada anak bangsa ini.

Berikut tulisan-tulisan Beliau, semoga bermanfaat.

1. Terlalu Banyak Ide – Orang “pintar” biasanya banyak ide, bahkan mungkin telalu banyak ide, sehingga tidak satupun yang menjadi kenyataan. Sedangkan orang “bodoh” mungkin hanya punya satu ide dan satu itulah yang menjadi pilihan usahanya

2. Miskin Keberanian untuk memulai – Orang “bodoh” biasanya lebih berani dibanding orang “pintar”, kenapa ? Karena orang “bodoh” sering tidak berpikir panjang atau banyak pertimbangan. Dia nothing to lose. Sebaliknya, orang “pintar” telalu banyak pertimbangan.

3. Telalu Pandai Menganalisis – Sebagian besar orang “pintar” sangat pintar menganalisis. Setiap satu ide bisnis, dianalisis dengan sangat lengkap, mulai dari modal, untung rugi sampai break event point. Orang “bodoh” tidak pandai menganalisis, sehingga lebih cepat memulai usaha.

4. Ingin Cepat Sukses – Orang “Pintar” merasa mampu melakukan berbagai hal dengan kepintarannya termasuk mendapatkahn hasil dengan cepat. Sebaliknya, orang “bodoh” merasa dia harus melalui jalan panjang dan berliku sebelum mendapatkan hasil.

5. Tidak Berani Mimpi Besar – Orang “Pintar” berlogika sehingga bermimpi sesuatu yang secara logika bisa di capai. Orang “bodoh” tidak perduli dengan logika, yang penting dia bermimpi sesuatu, sangat besar, bahkan sesuatu yang tidak mungkin dicapai menurut orang lain.

6. Bisnis Butuh Pendidikan Tinggi – Orang “Pintar” menganggap, untuk berbisnis perlu tingkat pendidikan tertentu. Orang “Bodoh” berpikir, dia pun bisa berbisnis.

7. Berpikir Negatif Sebelum Memulai – Orang “Pintar” yang hebat dalam analisis, sangat mungkin berpikir negatif tentang sebuah bisnis, karena informasi yang berhasil dikumpulkannya sangat banyak. Sedangkan orang “bodoh” tidak sempat berpikir negatif karena harus segera berbisnis.

8. Maunya Dikerjakan Sendiri – Orang “Pintar” berpikir “aku pasti bisa mengerjakan semuanya”, sedangkan orang “bodoh” menganggap dirinya punya banyak keterbatasan, sehingga harus dibantu orang lain.

9. Miskin Pengetahuan Pemasaran dan Penjualan – Orang “Pintar” menganggap sudah mengetahui banyak hal, tapi seringkali melupakan penjualan. Orang “bodoh” berpikir simple, “yang penting produknya terjual”.

10. Tidak Fokus – Orang “Pintar” sering menganggap remeh kata Fokus. Buat dia, melakukan banyak hal lebih mengasyikkan. Sementara orang “bodoh” tidak punya kegiatan lain kecuali fokus pada bisnisnya.

11. Tidak Peduli Konsumen – Orang “Pintar” sering terlalu pede dengan kehebatannya. Dia merasa semuanya sudah Oke berkat kepintarannya sehingga mengabaikan suara konsumen. Orang “bodoh” ?. Dia tahu konsumen seringkali lebih pintar darinya.

12. Abaikan Kualitas -Orang “bodoh” kadang-kadang saja mengabaikan kualitas karena memang tidak tahu, maka tinggal diberi tahu bahwa mengabaikan kualitas keliru. Sednagnkan orang “pintar” sering mengabaikan kualitas, karena sok tahu.

13. Tidak Tuntas – Orang “Pintar” dengan mudah beralih dari satu bisnis ke bisnis yang lain karena punya banyak kemampuan dan peluang. Orang “bodoh” mau tidak mau harus menuntaskan satu bisnisnya saja.

14. Tidak Tahu Pioritas – Orang “Pintar” sering sok tahu dengan mengerjakan dan memutuskan banyak hal dalam waktu sekaligus, sehingga prioritas terabaikan. Orang “Bodoh” ? Yang paling mengancam bisnisnyalah yang akan dijadikan pioritas

15. Kurang Kerja Keras dan Kerja Cerdas – Banyak orang “Bodoh” yang hanya mengandalkan semangat dan kerja keras plus sedikit kerja cerdas, menjadikannya sukses dalam berbisnis. Dilain sisi kebanyakan orang “Pintar” malas untuk berkerja keras dan sok cerdas,

16. Menacampuradukan Keuangan – Seorang “pintar” sekalipun tetap berperilaku bodoh dengan dengan mencampuradukan keuangan pribadi dan perusahaan.

17. Mudah Menyerah – Orang “Pintar” merasa gengsi ketika gagal di satu bidang sehingga langsung beralih ke bidang lain, ketika menghadapi hambatan. Orang “Bodoh” seringkali tidak punya pilihan kecuali mengalahkan hambatan tersebut.

18. Melupakan Tuhan – Kebanyakan orang merasa sukses itu adalah hasil jarih payah diri sendiri, tanpa campur tangan “TUHAN”. Mengingat TUHAN adalah sebagai ibadah vertikal dan menolong sesama sebagai ibadah horizontal.

19. Melupakan Keluarga – Jadikanlah keluarga sebagai motivator dan supporter pada saat baru memulai menjalankan bisnis maupun ketika bisnis semakin meguras waktu dan tenaga

20. Berperilaku Buruk – Setelah menjadi pengusaha sukses, maka seseorang akan menganggap dirinya sebagai seorang yang mandiri. Dia tidak lagi membutuhkan orang lain, karena sudah mampu berdiri diats kakinya sendiri.

Ternyata, menjadi orang pintar saja itu tidak cukup.
Tidak perlu memberitahu dan menujukkan kepada orang lain bahwa kita ini "pintar", Biarkan orang lain tahu dengan sendirinya, itu lebih terhormat.  

Sumber : Bob Sadino













Selasa, 07 Februari 2012

Selamat Datang IFRS

Tahun 2012 sudah berjalan dan keharusan Indonesia untuk mengadopsi sistem pelaporan keuangan International Financial Reporting System (IFRS) tinggal menunggu hitungan minggu.


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam forum KTT G-20 tahun 2010 silam, sudah menjanjikan Indonesia akan mengadopsi IFRS secara penuh mulai 1 Januari 2012. Beberapa waktu lalu, Bank Dunia juga menyarankan agar Indonesia benar-benar siap menerapkan IFRS.

Tak mudah menerapkan IFRS. Penerapan IFRS tak ubahnya revolusi dalam sistem pelaporan keuangan di negeri ini. Ada banyak perbedaan mendasar antara IFRS dengan sistem yang berlaku sekarang. IFRS adalah sistem modern yang disusun International Accounting Standards Board yang berbasis di London.
Saat ini, sudah lebih dari 100 negara di dunia yang menerapkan IFRS.

Jika Indonesia mengadopsi sistem ini secara penuh, maka bahasa keuangan kita akan sama dengan bahasa keuangan dunia. Perusahaan Indonesia bisa masuk bursa utama dunia tanpa harus mengubah lagi sistem pelaporan keuangannya. IFRS dapat meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan, meningkatkan kredibilitas laporan keuangan, menyelaraskan dengan aturan internasional, meningkatkan arus investasi ke dalam dan ke luar, serta memudahkan pemahaman atas laporan keuangan.

Sayangnya, sistem ini sangat kompleks dan mahal untuk diterapkan. IFRS juga bersifat cepat berubah. Makanya, para pelaku akuntasi dan kalangan pemeriksa di Indonesia-baik dari Ditjen Pajak, BPK, BPKP, KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan instansi lainnya-- perlu memiliki ketangkasan tersendiri untuk menerapkan dan mengadopsi IFRS.

Saat ini, masih tersisa banyak masalah jika IFRS diterapkan. Sosialisasi tentang IFRS, misalnya, belum digalakkan. Akibatnya, belum semua pemangku kepentingan merasa perlu mengatahui soal ini. Padahal, dampak penerapan IFRS tidak bisa diremehkan. Studi di Eropa menunjukkan, pemberlakuan IFRS membuat keuntungan perusahaan naik 45% namun ekuitas rata-ratanya turun 15%.


IFRS mengacu pada konsep fair value atau nilai wajar. Dalam sistem yang berlaku di Indonesia sekarang, teknik penilaian berdasarkan konsep historical value. Nah, nilai wajar belum tentu mencerminkan harga yang terjadi di masa lalu, tapi mencerminkan nilai ideal. Berbeda dengan nilai historis yang hanya dihitung sekali saat transaksi, nilai wajar musti ditentukan ulang secara berkala untuk memastikan angka yang mutakhir.

Akibat perubahan basis acuan dari historical value ke fair value, akan muncul implikasi terhadap kewajiban pajak. Perbedaan ini dapat mempengaruhi jumlah yang dikenakan pajak. Nah, jika dikotomi ini tidak segera dire-alignment, tentu akan menimbulkan pemahaman yang ambivalen.

Selain itu, perpajakan di Indonesia menganut prinsip realisasi (contohnya: penghasilan dikenakan pajak saat diterimanya kas dari penghasilan tersebut). Padahal, IFRS berdasarkan azas akrual, sehingga penghasilan (atau beban) baru diakui saat terjadinya, dan belum tentu pada saat kas diterima atau dikeluarkan.
Perbedaan ini dapat mempengaruhi saat suatu transaksi dikenakan pajak.

Memang, aparat pajak sudah mulai paham soal IFRS. Tapi, tanpa aturan hukum yang memadai, pengertian aparat pajak soal IFRS bisa menimbulkan spekulasi yang tidak perlu di kemudian hari. Harus dipikirkan pula dikotomi antara tujuan utama perpajakan, yakni mencapai target penerimaan negara yang tidak sama dengan tujuan IFRS yaitu menyajikan informasi keuangan yang relevan dan andal.
Yang harus diperhatikan lagi, interpretasi atas pedoman akuntansi.

IFRS diharapkan akan menimbulkan pengungkapan aktifitas usaha yang sesungguhnya. IFRS menuntut transparansi yang lebih dalam dibandingkan aturan pelaporan keuangan yang berlaku sekarang. Unsur-unsur yang harus dilaporkan lebih banyak bahkan meliputi informasi yang sensitif. Perusahaan, misalnya, harus mengungkap risiko risiko yang terkait dengan piutang, investasi, produk derivatif dan aset atau liabilitas keuangan lainnya. Risiko yang harus diungkapkan secara transparan mencakup risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko pasar dari aset dan liabilitas tersebut. Di sini, peran manajemen risiko dan internal audit harus diasah terus kemampuannya
IFRS juga menganut azas principle base. Jadi, semua elemen manajemen harus memahami IFRS secara utuh. IFRS akan sering meminta profesional judgment ketika melengkapi laporan. Itu sebabnya, fungsi komisaris tidak lagi hanya memberikan advis kepada direksi, tapi juga harus paham laporan keuangan.

Gesekan pemahaman, bisa saja terjadi dan inilah pekerjaan rumah yang besar dalam menyiapkan adopsi IFRS di tahun 2012 secara utuh.
Persoalan lain, batasan tentang makna profesional judgement di Indonesia sangatlah sumir. Infrastruktur hukum belum memiliki keberpihakan kepada pelaku bisnis terlebih manajemen BUMN ketika memeberikan "profesional judgement". Dalam hal ini, government will diperlukan untuk menjamin pelaku bisnis BUMN dapat menjalankan putusan atas laporan keuangan yang berbasis IFRS tanpa takut dinilai melanggar aturan.

Jika pihak eksternal perusahaan (misalnya pajak, aparat hukum, auditor negara, atau politisi) tidak siap, maka itu bisa menyulitkan kalangan perusahaan. Ambil contoh: soal pencadangan atas piutang ragu-ragu.

Mengingat IFRS menganut nilai wajar, maka bila ada suatu utang yang diklasifikasikan meragukan, perusahaan harus segera menyiapkan pencadangan penuh-dan menghapuskan catatan utang itu. Padahal, aturan yang berlaku sekarang amat sulit mengesahkan soal penghapusan piutang. Apa yang akan terjadi jika BUMN menghapuskan catatan utang itu berdasarkan IFRS? Bisa jadi nanti muncul dugaan bahwa tindakan tersebut adalah pidana atau bahkan merugikan keuangan negara.

Kalau sudah begini, tidak bisa tidak, pemerintah sebaiknya memebrikan dasar hukum yang jelas dalam penerapan IFRS. Sudah sepatutunya jika implementasi IFRS mendapatkan pengawalan dan legal framework yang memadai . Aturan hukum itu diperlukan untuk mejamin semua kalangan tidak terjerumus pada situasi rancu dari penerapan IFRS itu tadi.




Batas waktu yang ditetapkan bagi seluruh entitas bisnis dan pemerintah untuk menggunakan IFRS adalah 1 Januari 2012.

”Semua persiapan ke arah sana harus diselesaikan karena ini akan dimulai pada 1 Januari 2012. Coba dilihat dampak pada biayanya karena pengalihan standar akan menyebabkan timbulnya ongkos tambahan,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (5/5), saat menjadi pembicara kunci dalam seminar ”IFRS, Penerapan dan Aspek Perpajakannya”.
Menurut Sri Mulyani, konvergensi akuntansi Indonesia ke IFRS perlu didukung agar Indonesia mendapatkan pengakuan maksimal dari komunitas internasional yang sudah lama menganut standar ini.

”Kalau standar itu dibutuhkan dan akan meningkatkan posisi Indonesia sebagai negara yang bisa dipercaya di dunia dengan tata kelola dan pertanggungjawaban kepada rakyat dengan lebih baik dan konsisten, tentu itu perlu dilakukan,” ujarnya.
Selain IFRS, kutub standar akuntansi yang berlaku di dunia saat ini adalah United States General Accepted Accounting Principles (US GAAP).

Negara-negara yang tergabung di Uni Eropa, termasuk Inggris, menggunakan International Accounting Standard (IAS) dan International Accounting Standard Board (IASB).

Setelah berkiblat ke Belanda, belakangan Indonesia menggunakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Mula-mula PSAK IAI berkiblat ke Amerika Serikat dan nanti mulai tahun 2012 beralih ke IFRS.

Tujuh Manfaat Penerapan IFRS

Ketua Tim Implementasi IFRS-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Dudi M Kurniawan mengatakan, dengan mengadopsi IFRS, Indonesia akan mendapatkan tujuh manfaat sekaligus.
  1. Pertama, meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan (SAK).
  2. Kedua, mengurangi biaya SAK.
  3. Ketiga, meningkatkan kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan.
  4. Keempat, meningkatkan komparabilitas pelaporan keuangan.
  5. Kelima, meningkatkan transparansi keuangan.
  6. Keenam, menurunkan biaya modal dengan membuka peluang penghimpunan dana melalui pasar modal.
  7. Ketujuh, meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
”Pengalaman di Eropa, ada beberapa masalah yang muncul dalam implementasi IFRS, antara lain perencanaan waktu yang kurang matang dan kurangnya dukungan dari manajemen puncak,” tuturnya.

Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Etty Retno Wulandari mengatakan, Indonesia perlu mengadopsi IFRS karena sebagian besar negara di dunia sudah menganut standar akuntansi itu.

Dengan demikian, IFRS dapat meningkatkan perlindungan kepada investor pasar modal. ”Bapepam mewajibkan emiten dan perusahaan publik menyampaikan laporan keuangan ke Bapepam dan menyediakannya pada masyarakat. Laporan tersebut harus disajikan dengan standar akuntansi yang berkualitas tinggi,” ungkapnya.